6

ACEH MENANGIS


 Dengan adanya gempa bumi berkekuatan 8,9 skala Richter diikuti dengan gelombang laut tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, bangsa ini menyatakan hari berkabung nasional selama tiga hari karena banyak menelan korban jiwa maupun harta ditelan gelombang yang secara tiba-tiba datang. Banyak cerita yang mencengangkan kita semua, baik untuk kejadian gempanya sendiri maupun gelombang tsunaminya, serta kejadian setelah peristiwa dahsyat tersebut.

Seluruh bangsa merasa empati, apalagi setelah melihat tayangan TV yang merekam akibat kejadian tersebut, khususnya di daerah Banda Aceh, Meulaboh, maupun Tapak Tuan, dimana di ketiga daerah tersebut merupakan daerah yang paling dahsyat menerima akibat gempa dan tsunami ini. Uluran tangan dari berbagai pihak terus mengalir, baik yang berbentuk makanan, obat-obatan, kain kafan atau kantong mayat, maupun tenaga relawan, semuanya berasal dari seluruh pelosok negeri kita tercinta maupun manca negara.

Guncangan gempa ini terjadi tanggal 26 Desember 2004 hari Minggu pagi sekitar jam 07.30 dimana kebanyakan keluarga masih berkumpul di rumah, dan saat itu dikagetkan dengan guncangan yang dahsyat dan cukup lama, serta diiringi gelombang tsunami yang sangat besar. Tidak heran kalau yang merasakan hal tersebut menamakannya “Kiamat Kecil”, disinilah ditunjukkan bahwa manusia tidak punya daya dan upaya yang memadai.

Pada hari Kamis berikutnya yaitu tanggal 29 Desember 2004, kami mendapat kesempatan bersama salah satu LSM pergi ke Banda Aceh untuk menyampaikan bantuan berupa makanan, obat-obatan, maupun tenaga relawan dengan pesawat charter Mandala Airways. Berangkat jam 08.30 pagi dari Lanud Halim Perdanakusumah, terus transit di Bandara Pekanbaru jam 10.00. Diluar dugaan kami dan rombongan harus menunggu selama lima jam karena antri untuk mendapat ijin mendarat di Bandara Blang Bintang Banda Aceh, sekarang namanya Bandara Sultan Iskandar Muda.

Jam 15.30 kami meneruskan perjalanan dan tiba jam 17.00 pada saat itu juga bantuan diserahkan di bandara, dan rombongan kembali ke Jakarta jam 18.00 sehingga diputuskan rombongan tidak keluar bandara. Lain halnya dengan kami berdua memisahkan diri dengan rombongan dan menuju kota dengan menyewa colt L-300 bak terbuka dengan kondisi mobil dan mesin alakadarnya, alhamdulillah sampai ditempat tujuan.

Keluar dari Bandara banyak petugas Polri maupun TNI yang berjaga-jaga dan di sekitarnya banyak pengungsi yang tinggal, baik di tenda darurat maupun mengisi kantor yang ada di sekitarnya, sangat mengharukan. Ketika menuju ke kota, berpapasan dengan dua truk yang membawa jenazah dan dibawa ke pemakaman massal di pinggir jalan raya bandara, dimana telah disiapkan alat berat Shovel untuk mengeruk tanah dan menimbunnya kembali, tentunya bau yang tak nyaman terisap, sehingga perlu memakai masker atau apa saja untuk menutup hidung.

Menjelang magrib kami tiba di tempat tujuan, dimana di sepanjang jalan terlihat banyak tenda maupun posko untuk para pengungsi. Setelah tiba di tempat tujuan, ternyata rumah tersebut tidak kena ombak tetapi ada di sekitar penghujung luapan air bah. Saya sangat terkesan di rumah tersebut banyak sekali anggota keluarganya, eh ternyata rumah inipun menjadi tempat pengungsian anggota keluarga besarnya, karena rumah yang lain berada di daerah gelombang tsunami.

Ketika malam tiba kami diterangi PLN yaitu Penerangan Lilin Niye karena rusaknya jaringan listrik, begitu pula PAM maupun telepon. Kami makanpun masih memanfaatkan sebagian besar makanan cadangan yang dipunyai keluarga karena kegiatan pasar sangat terbatas sekali, begitu juga tentang uang masih menggunakan uang yang ada dikantong karena tidak ada bank maupun ATM yang buka pada minggu pertama ini.

Hari Jum’at pagi 31 Desember 2004 kami menuju rumah kediaman Rektor Universitas Syah Kuala untuk bersilahturahmi dan menyampaikan rasa turut berduka dari civitas akademika IPB, serta kami menyatakan siap membantu kegiatan akademik apabila diperlukan, misalnya dengan sistem Kuliah Pengumpulan Kredit. Hal ini disambut baik, dan sebagai salah satu pilihan untuk penyelesaian akademik mahasiswa. Namun dalam waktu dekat ini Unsyiah masih mencari informasi keberadaan warganya karena sulitnya komunikasi maupun transportasi.

Kampus Unsyiah sendiri tidak kena tsunami, kecuali kampus Fakultas Ekonomi berada diujung ombak, sehingga nampak hamparan lumpur halamannya, begitu pula tidak ada gedung yang hancur akibat gempa. Namun demikian kampus ini menjadi salah satu posko pengungsi maupun tempat pengumpulan mayat korban tsunami, dimana sekitar 300 mayat telah dikebumikan secara masal di areal kampus di luar zona akademik.

Ketika kami melewati daerah kantor Gubernur dan sekitarnya, tumpukan puing-puing masih berserakan, baik berupa kayu, mobil, sampah, maupun hamparan lumpur, serta sering tercium bau tak sedap. Gedung, rumah, toko dan bangunan lain sudah nampak kusam karena belum tersentuh apapun, baru pembersihan jalan dari lumpur dan sampah agar kendaraan bisa lewat ala kadarnya.

Dipenghujung tahun 2004 yakni hari Kamis 31 Desember 2004 di Banda Aceh masih sering terjadi gempa kecil, diantaranya yang kami rasakan pada hari tersebut terjadi tujuh kali gempa yaitu sekitar jam 01:00, 03:30, 05:00, 06:00, 07:30, 17:00 dan 24:45. Keadaan ini mengingatkan kejadian sebelumnya dan menambah trauma maupun kepanikan, sehingga banyak warga yang migrasi ke Medan atau kota lainnya yang berakibat di bandara banyak sekali calon penumpang mencari tiket.

Begitu pula bagi kami yang belum mempunyai tiket, ketika mau kembali ke Bogor, ternyata tidak ada satupun travel agency yang aktif, sehingga semua penumpang harus langsung membeli tiket di bandara. Pergilah kami siang itu 31 Desember 2004 jam 10:30 ke bandara dan mengantri untuk beli tiket. Sambil mengantri secara bergantian, kami mencoba menghubungi rekan di Banda Aceh, tetapi sulit dilakukan karena percakapan via HP tidak bisa dilakukan bahkan sms pun sangat sulit dikirimnya. Ahamdulillah kami dapat tiket sebagai penumpang terakhir pada esok harinya 01 Januari 2005 jam 01:30, untuk berangkat ke Jakarta via Medan jam 06:00. Penumpang yang melimpah dimungkinkan terangkut semua karena pihak Garuda Airways menambah banyak extra flight ke Banda Aceh via Medan. Pengalaman tak terlupakan bertahun baru di airport Banda Aceh sambil antri beli tiket.

Namun demikian, pemerintah beserta berbagai komponen bangsa berupaya maksimal sehingga menjelang tahun baru beberapa daerah sudah masuk aliran listrik dan telepon. Disamping itu berbagai jenis bantuan sudah mulai berdatangan baik melalui udara maupun melalui darat. Semoga daerah lainnya pun dapat tersentuh oleh pemerhati dan berwenang, sehingga dapat kembali pulih seperti sedia kala.

Allahhu Robbulalamiin, jadikan Surga MU bagi mereka yang berpulang untuk menghadap MU dan berilah ketabahan untuk semua keluarga dan kerabatnya yang ditinggal, serta Selamat Datang Tahun 2005 semoga di tahun ini kita selalu mendapat ridho NYA, amien.